Beranda | Artikel
Bagaikan Debu Yang Beterbangan
Jumat, 30 November 2012

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Tentang maksud “bagaikan debu yang beterbangan” Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan, “Artinya sia-sia, tidak mendapat pahala. Karena mereka tidak melakukannya [ikhlas] karena Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 924)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaa’dul Masir, hal. 1014)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap amalan yang tidak ikhlas dan tidak berada di atas ajaran syari’at yang diridhai [Allah] maka itu adalah batil/sia-sia.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/103])

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Sebab amalan yang diterima adalah amalan yang dilakukan oleh orang yang beriman lagi ikhlas, yang membenarkan para rasul dan mengikuti tuntunan mereka di dalam hal itu.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [5/472])

Di dalam ayat lain, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu -Muhammad- dan juga kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu, dan pastilah kamu termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Ini adalah pendidikan dari Allah ta’ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ancaman bagi selainnya, karena Allah ‘azza wa jallah telah menjaga beliau dari perbuatan syirik.” (lihat Zaadul Masir, hal. 1235)

ar-Rabi’ bin Anas rahimahullah berkata, “Tanda agama [amalan yang benar] adalah ikhlas karena Allah, sedangkan tanda ilmu [yang sejati] adalah perasaan takut kepada Allah.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah karya Ibnu Abi Dun-ya, hal. 33)

Diriwayatkan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Amal yang salih adalah amalan yang kamu tidak menginginkan pujian dari siapapun atasnya kecuali dari Allah.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 35)

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata, “Malaikat membawa naik amalan seorang hamba dengan penuh gembira. Tatkala dia telah bertemu dengan Rabbnya, maka Allah pun berkata: Masukkanlah amalan itu ke dalam Sijjin [catatan keburukan], karena amalan tu tidak dipersembahkan untuk-Ku.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 45)

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Ada seseorang yang menceritakan kepadaku mengenai Abus Salil. Bahwasanya suatu saat dia menyampaikan hadits atau sedang membacakannya kemudian dia menangis, tiba-tiba dia pun mengubah dirinya menjadi tertawa.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 64)

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Benar-benar ada dahulu seorang lelaki yang memilih waktu tertentu untuk menyendiri, menunaikan sholat dan menasehati keluarganya pada waktu itu, lalu dia berpesan: Jika ada orang yang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa ‘dia sedang ada keperluan’.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal.65)

Mutharrif rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sejelek-jelek alat untuk mencari kesenangan dunia adalah amal akhirat.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 572)

Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, “Allah tidak menerima amalan yang di dalamnya tercampuri riya’ walaupun hanya sekecil biji tanaman.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 572)

Abu Ishaq al-Fazari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya diantara manusia ada orang yang sangat menggandrungi pujian kepada dirinya, padahal di sisi Allah dia tidak lebih berharga daripada sayap seekor nyamuk.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 573)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencintai orang lain bukan karena Allah niscaya bahaya yang muncul dari teman-temannya jauh lebih besar daripada bahaya yang timbul dari musuh-musuhnya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 575)

al-Harits bin Qasi an-Nakha’i rahimahullah berkata, “Jika kamu berniat untuk melakukan suatu amal kebaikan janganlah ditunda-tunda. Apabila setan datang ketika kamu sedang mengerjakan sholat lalu dia membisikkan, “Kamu sedang riya’.” maka buatlah sholat itu semakin bertambah lama.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 576)

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Bukanlah tangisan hakiki tangisan dengan mata. Akan tetapi tangisan yang hakiki adalah tangisan hati.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 579)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata: Dahulu ibuku berpesan kepadaku, “Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 579)

Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Seandainya seorang yang riya’ dengan ilmu dan amalnya mengutarakan isi hatinya kepada manusia niscaya mereka akan marah kepadanya dan mengatakan bahwa akalnya benar-benar dungu.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 580)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Riya’ adalah mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ‘ujub adalah mempersekutukan Allah dengan diri sendiri.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 583)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya pun menjadi terhapus.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 584)

Setelah membaca ini semuanya, sudah selayaknya kita berdoa kepada Allah sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh salah seorang ulama salaf, “Ya Allah, ampunilah riya’ dan sum’ahku.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 577)


Artikel asli: http://abumushlih.com/bagaikan-debu-yang-beterbangan.html/